Dakwah dalam Islam, menjadi bagian yang sangat penting. Karena begitu
pentingnya masalah ini, maka Allah Swt mengutus para nabi, guna
memperbaiki agama. Jumlah Nabi yang diutus pun ratusan ribu jumlahnya.
Mereka bertebaran mengemban tugas dakwah, guna memperbaiki agama umat
manusia. Para nabi, sekalipun banyak yang berkontribusi pada peradaban
manusia, mereka lebih fokus urusan agama. Sebab, urusan yang bersifat
ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya kurang penting. Para Nabi,
sekalipun ada yang menjadi raja, tugas pokok mereka adalah berdakwah.
Mereka menyampaikan kabar gembira—misalnya tentang balasan bagi
orang-orang yang beriman, dan peringatan.
Kehadiran nabi pada setiap masa, sudah ditutup oleh Nabi Muhammad Saw. Dengan begitu, kerja kenabian diteruskan oleh umatnya, umat Nabi Muhammad Saw. Setiap individu memiliki kewajiban sebagaimana kewajiban shalat. Dalam Qur’an dinyatakan dengan jelas, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. (Qs. Ali Imran : 110). Ayat ini berisikan penegasan kalau tanggung jawab amar ma’ruf nahi munkar, bukan hanya terbatas bagi ulama saja. Orang awam, tidak terlalu paham dengan agama, juga menjadi sasaran dari tugas dakwah ini. Tugas dakwah adalah warisan. Siapa pun yang mengaku dirinya seorang muslim, ada tugas dakwah yang perlu ditunaikan.
Menurut Kiayi Lutfi, warisan dalam Islam wajib diberikan kepada yang berhak. Kecuali jika membunuh ahli waris atau murtad, maka hukumnya batal. Ia contohkan ada seorang muslim yang dipenjara karena melakukan kriminal. Saudaranya berjumlah 9 orang yang semuanya laki-laki. Orang tuanya meninggalkan harta senilai 10 Miliar. Maka tiap orang berhak mendapat warisan sebanyaknya 1 miliar, meski pun salah seorang dari mereka masih ada yang mendekam dipenjara. Begitu pula dengan usaha dakwah. Siapa pun orangnya, apa pun latar belakangnya, jika ummat Nabi Saw, maka berhak atas dakwah, berhak atas warisan para nabi.
Dalam penerimaan tugas dakwah, bagi ummat Nabi Muhammad Saw, tidak semua orang mau menerimanya. Hanya orang-orang yang terpanggil saja seperti dalam surat ali-Imran ayat 104. “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Kehadiran nabi pada setiap masa, sudah ditutup oleh Nabi Muhammad Saw. Dengan begitu, kerja kenabian diteruskan oleh umatnya, umat Nabi Muhammad Saw. Setiap individu memiliki kewajiban sebagaimana kewajiban shalat. Dalam Qur’an dinyatakan dengan jelas, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. (Qs. Ali Imran : 110). Ayat ini berisikan penegasan kalau tanggung jawab amar ma’ruf nahi munkar, bukan hanya terbatas bagi ulama saja. Orang awam, tidak terlalu paham dengan agama, juga menjadi sasaran dari tugas dakwah ini. Tugas dakwah adalah warisan. Siapa pun yang mengaku dirinya seorang muslim, ada tugas dakwah yang perlu ditunaikan.
Menurut Kiayi Lutfi, warisan dalam Islam wajib diberikan kepada yang berhak. Kecuali jika membunuh ahli waris atau murtad, maka hukumnya batal. Ia contohkan ada seorang muslim yang dipenjara karena melakukan kriminal. Saudaranya berjumlah 9 orang yang semuanya laki-laki. Orang tuanya meninggalkan harta senilai 10 Miliar. Maka tiap orang berhak mendapat warisan sebanyaknya 1 miliar, meski pun salah seorang dari mereka masih ada yang mendekam dipenjara. Begitu pula dengan usaha dakwah. Siapa pun orangnya, apa pun latar belakangnya, jika ummat Nabi Saw, maka berhak atas dakwah, berhak atas warisan para nabi.
Dalam penerimaan tugas dakwah, bagi ummat Nabi Muhammad Saw, tidak semua orang mau menerimanya. Hanya orang-orang yang terpanggil saja seperti dalam surat ali-Imran ayat 104. “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Dakwah juga merupakan sarana perbaikan diri. Media dakwah manusia,
sedangkan sasaran dakwah adalah perbaikan diri sendiri. Makin hebat
dakwahnya, maka makin baik akhlaknya. Makin hebat amalnya, juga makin
hebat istighfarnya kepada Allah Swt.
Sebagian pendakwah, ada yang terlalu bersemangat dalam menjalankan
tugasnya. Semangat ini diwarnai dengan canda tawa yang berlebihan.
Bahkan ada juga yang mencaci-maki orang lain, hingga mereka tidak
menghargai nama baik seorang muslim. Inilah yang barangkali menjadi
acuan kalau para pendakwah, harus memiliki izin dari lembaga yang
berwenang, semacam sertifikasi. Setiap pendakwah harus menghafal
beberapa surat dalam Qur’an, hadis, dan ilmu-ilmu fiqih, dan persyaratan
lainnya. Namun, dari sisi lain, jika pendakwah tadi tidak lulus
sertifikasi, maka apakah ia tidak boleh berdakwah, hingga ia
bersertifikasi?
Dakwah adalah kerja kenabian. Bukan kerja biasa. Bukan profesi yang
perlu sertifikasi. Dakwah ini perlu pengorbanan harta, waktu, tenaga,
dan fikiran. Karena kerja kenabian, maka tidak patut jika mendapatkan
upah apa pun, kecuali dari Allah Swt saja. Allah yang ‘gunakan’
seseorang sebagai penyebar agama, dan jika ia berkehendak, maka orang
yang dimaksud juga dapat dibebastugaskan dari tugas dakwah.
Naudzubillah.
Subhanallah wa bihamdihi, Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadu Allaailaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik
0 komentar: