Rombongan jamaah telah pindah keluar dari halaqah. Dan kini, tiba untuk tunaikan nisab 3 hari. Aku terpisah dari Al-Hikmah Group. Sendirian, mencari siapa pun yang nisab minggu awal ini. Ahaa… ternyata dengan group Pak Amir Darwis.
Singkat cerita, kami ada 7 orang di masjid sebut saja al-Ilmi. Ternyata hanya beberapa kilometer saja dari rumahku. Dengan motorku, cukup 15 menitan saja. Al-Ilmi sebuah masjid milik ustad ternama di kecamatan kami. Nama ustad ini sudah tidak asing. Syukur, dia sudah simpatik dengan usaha dakwah ini. Masjidnya juga unik. Mirip rumah Joglo di Jogja. Tanpa pintu tanpa jendela.
Di al-Ilmi memang terkenal banyak orang Betawi yang sudah “ngaji.” Jadi medannya banyak orang yang pinter baca Qur’an, pinter baca kitab. Aku melihat rata-rata tatapan mereka sinis terhadap dakwah kami. Ketika ta’lim Dzuhur dan ta’lim Ashar, beberapa jamaah ada yang menegur kami. Seakan kami ingin “merebut” masjid saja. Kesannya memang begitu. Bahkan pak RW juga hadir di situ penuh sindiran kepada kami.
Memang, di al-Ilmi sudah banyak kegiatan masjid. Alhamdulillah jika kami tidak perlu repot-repot untuk bayan Magrib dan bayan Subuh. Tanggapan rombongan bermacam-macam. Ada yang kurang terima, dengan perlakukan jamaah yang dingin. Bahkan ada seorang imam Rawatib yang selalu mengamati gerak-gerak kami. Satu demi satu setiap tas jamaah dilihatin terus. Dengan perlakuan itu, seakan ada boikot dari masing-masing petinggi. Dakwah tidak didengar. Bagiku seakan mereka menilai kami gerombolan orang bodoh yang mengambil jalan yang sia-sia.
Sebenarnya, aku ingin sekali bayan. Beberapa kitab kuning yang mereka baca, ingin kuhempaskan dalam bayan. Agar mereka paham, kalau kitab yang mereka agung-agungkan, ras Betawi yang mereka banggakan, dan tradisi maulid Nabi yang mereka baca hanya sampai tenggorokan saja. Aku memang bukan jagonya, tapi soal maulid Nabi, aku hafal dan tau artinya. Beda banget dengan mereka-mereka yang hanya sebatas “lidah tanpa makna.” Setelah musyawarah pagi, aku sekali mendapatkan jatah itu. Namun, secara etika pasti nggak boleh minta tugas, kecuali petugas hidmad. Aku hanya kebagian Taqrir menjelang Magrib. Dan kami sepakat mengikuti agenda semua kegiatan masjid. Suasana dan keadaan memang sudah Allah Swt tentukan. Memang, sudah hampir empat tahun, tak pernah ada jamaah tabligh yang masuk ke al-Ilmi. Alhamdulillah setidaknya tahun ini, kami bisa tembus, hadir di situ.
Dalam dakwah memang harus bersatu padu. Apa pun bentuk dakwah, perlu di dukung. Walau kegiatan dakwah tempatan masjid itu hanya sebatas, menghidupkan masjid. Ustad yang ternama itu, juga hampir tidak terlihat dalam sholat berjamaah.
Kami tidak punya target taskilan. Juga tidak ada pikir untuk membuat maqomi di tempat itu. Kami memang lemah ilmu. Amal-amal kami juga lemah. Namun setidaknya, kami punya keyakinan. Hanya modal yakin, kalau Allah Swt maha pengampun. Dengan jerih payah kami, setidaknya ada suasana yang menghangatkan kampung dengan para orang-orang khowas di situ.
Jelang malam terakhir. Hatiku masih terusik dengan perlakuan orang-orang tempatan. Kami memang biasa diusir dan terusir oleh saudara sendiri sesama muslim. Namun, apa guna kami tidur di masjid itu berhari-hari. Nyamuk Jakarta yang memang sudah terkenal, juga mengganggu khusuknya Tahajud kami. Tidur di rumah sendiri lebih nyaman pastinya, dan lebih bebas. Barangkali, baru sebatas inilah yang kami korbankan untuk tegakkan agama-Mu ya Allah... Mengingatkan sesama saudara muslim yang lupa pentingnya ibadah kepada Allah.
Kami kerja untuk Allah Swt. Tidak peduli bagaimana lagi hasil pengorbanan, yang terlalu kecil jika dibandingkan para sahabat Nabi. Tidak sudi menerima bayaran di dunia yang tidak seberapa. Ya Allah… terimalah nisab kami bulan ini. Selalu ada rintangan yang akan menguatkan dakwah kami. Jika Allah Swt kehendaki seluruh kampung di al-Ilmi jadi taat, itu akan mudah saja. Namun, biarkan kami yang mengubahnya. Berikanlah kesempatan, ya Rabb. Kami mohon ampun atas segala kesalahan, kelemahan yang telah kami perbuat..
Sumber : http://calon-masturah.blogspot.com
Singkat cerita, kami ada 7 orang di masjid sebut saja al-Ilmi. Ternyata hanya beberapa kilometer saja dari rumahku. Dengan motorku, cukup 15 menitan saja. Al-Ilmi sebuah masjid milik ustad ternama di kecamatan kami. Nama ustad ini sudah tidak asing. Syukur, dia sudah simpatik dengan usaha dakwah ini. Masjidnya juga unik. Mirip rumah Joglo di Jogja. Tanpa pintu tanpa jendela.
Di al-Ilmi memang terkenal banyak orang Betawi yang sudah “ngaji.” Jadi medannya banyak orang yang pinter baca Qur’an, pinter baca kitab. Aku melihat rata-rata tatapan mereka sinis terhadap dakwah kami. Ketika ta’lim Dzuhur dan ta’lim Ashar, beberapa jamaah ada yang menegur kami. Seakan kami ingin “merebut” masjid saja. Kesannya memang begitu. Bahkan pak RW juga hadir di situ penuh sindiran kepada kami.
Memang, di al-Ilmi sudah banyak kegiatan masjid. Alhamdulillah jika kami tidak perlu repot-repot untuk bayan Magrib dan bayan Subuh. Tanggapan rombongan bermacam-macam. Ada yang kurang terima, dengan perlakukan jamaah yang dingin. Bahkan ada seorang imam Rawatib yang selalu mengamati gerak-gerak kami. Satu demi satu setiap tas jamaah dilihatin terus. Dengan perlakuan itu, seakan ada boikot dari masing-masing petinggi. Dakwah tidak didengar. Bagiku seakan mereka menilai kami gerombolan orang bodoh yang mengambil jalan yang sia-sia.
Sebenarnya, aku ingin sekali bayan. Beberapa kitab kuning yang mereka baca, ingin kuhempaskan dalam bayan. Agar mereka paham, kalau kitab yang mereka agung-agungkan, ras Betawi yang mereka banggakan, dan tradisi maulid Nabi yang mereka baca hanya sampai tenggorokan saja. Aku memang bukan jagonya, tapi soal maulid Nabi, aku hafal dan tau artinya. Beda banget dengan mereka-mereka yang hanya sebatas “lidah tanpa makna.” Setelah musyawarah pagi, aku sekali mendapatkan jatah itu. Namun, secara etika pasti nggak boleh minta tugas, kecuali petugas hidmad. Aku hanya kebagian Taqrir menjelang Magrib. Dan kami sepakat mengikuti agenda semua kegiatan masjid. Suasana dan keadaan memang sudah Allah Swt tentukan. Memang, sudah hampir empat tahun, tak pernah ada jamaah tabligh yang masuk ke al-Ilmi. Alhamdulillah setidaknya tahun ini, kami bisa tembus, hadir di situ.
Dalam dakwah memang harus bersatu padu. Apa pun bentuk dakwah, perlu di dukung. Walau kegiatan dakwah tempatan masjid itu hanya sebatas, menghidupkan masjid. Ustad yang ternama itu, juga hampir tidak terlihat dalam sholat berjamaah.
Kami tidak punya target taskilan. Juga tidak ada pikir untuk membuat maqomi di tempat itu. Kami memang lemah ilmu. Amal-amal kami juga lemah. Namun setidaknya, kami punya keyakinan. Hanya modal yakin, kalau Allah Swt maha pengampun. Dengan jerih payah kami, setidaknya ada suasana yang menghangatkan kampung dengan para orang-orang khowas di situ.
Jelang malam terakhir. Hatiku masih terusik dengan perlakuan orang-orang tempatan. Kami memang biasa diusir dan terusir oleh saudara sendiri sesama muslim. Namun, apa guna kami tidur di masjid itu berhari-hari. Nyamuk Jakarta yang memang sudah terkenal, juga mengganggu khusuknya Tahajud kami. Tidur di rumah sendiri lebih nyaman pastinya, dan lebih bebas. Barangkali, baru sebatas inilah yang kami korbankan untuk tegakkan agama-Mu ya Allah... Mengingatkan sesama saudara muslim yang lupa pentingnya ibadah kepada Allah.
Kami kerja untuk Allah Swt. Tidak peduli bagaimana lagi hasil pengorbanan, yang terlalu kecil jika dibandingkan para sahabat Nabi. Tidak sudi menerima bayaran di dunia yang tidak seberapa. Ya Allah… terimalah nisab kami bulan ini. Selalu ada rintangan yang akan menguatkan dakwah kami. Jika Allah Swt kehendaki seluruh kampung di al-Ilmi jadi taat, itu akan mudah saja. Namun, biarkan kami yang mengubahnya. Berikanlah kesempatan, ya Rabb. Kami mohon ampun atas segala kesalahan, kelemahan yang telah kami perbuat..
Sumber : http://calon-masturah.blogspot.com
0 komentar: