Berkah Ketaatan pada Hasil Musyawarah

Ketika Abu Bakar ra memimpin, hari pertamanya ia mengumpulkan para sahabat-sahabat Nabi Saw. Abu Bakar ra menanyakan apa yang menjadi rencana dari Rasulullah Saw yang belum terwujud. Beberapa orang kemudian menyebar untuk mencari tahu. Setelah itu mereka memberi laporan-laporan kepada Abu Bakar ra. Ternyata dari sekian banyak laporan, ada perintah kalau Rasulullah Saw sebelumnya sudah menyiapkan pasukan untuk menyerang Romawi di Syam. Panglima yang ditunjuk Rasulullah Saw adalah Usamah bin Zaid ra berdasarkan putusan musyawarah.

Di Madinah, orang-orang banyak yang tidak sepakat kalau Abu Bakar ra melanjutkan rencana itu, dengan memberangkatkan pasukan. Alasannya karena masih berkabung dengan kematian Rasulullah Saw. Sebagian orang juga tidak setuju dengan kepemimpinan Usamah bin Zaid ra, karena masih dianggap belum berpengalaman. Lagi pula dalam rombongan yang telah dibentuk, ada banyak kalangan orang tua dan tokoh-tokoh terkemuka. Mereka khawatir, jika orang-orang ini syahid akan menambah masalah politik yang belum reda. Belum lagi, ada nabi palsu yang muncul, Mushailimah. Selain itu, banyak juga yang berniat murtad (Al-Imran ayat 144).

Namun akhirnya, Abu Bakar ra tetap memilih melanjutkan apa yang telah diputuskan dari musyawarah sebelumnya. Mereka akhirnya mau menerima. Namun begitu, Umar bin Khattab ra menolak, jika pasukan tetap dipimpin oleh Usamah. Alasannya pasti kocar-kacir, walau jumlah pasukan tergolong besar. Kali ini Abu Bakar ra tetap pada pendiriannya. “Apakah kamu akan memecat, orang yang sudah diangkat oleh rasul?” tanya Abu Bakar ra pada Umar ra. Umar ra akhirnya terdiam.

Berkah dari kepatuhan Abu Bakar ra pada hasil musyawarah, sangat nyata. Pasukan Islam yang dipimpin Usamah bin Zaid ra, akhirnya menang. Bahkan, orang-orang murtad yang ingin memberontak ke Madinah, akhirnya mundur. Karena mereka mengira Madinah sudah aman. Dengan asumsi, jika pasukan yang diberangkatkan ke Madinah saja dengan kekuatan besar, maka pertahanan di Madinah pasti lebih kokoh.
Sebenarnya kepemimpinan Usamah bi Zaid sudah menjadi polemik pada zaman Rasulullah Saw. Mereka merasa tidak puas dengan keputusan Rasul dari hasil musyawarah, kalau Usamah ra itu bukan orang yang tepat. Rasulullah Saw waktu itu tetap dengan pendiriannya pada hasil putusan musyawarah, dengan mengatakan,”kalian meremehkan Usamah seperti kalian meremehkan ayahnya (Zaid) dulu.” 

Jadi, apa pun kenyataannya, walaupun tidak sesuai dengan logika, penuh banyak kesulitan-kesulitan, hasil putusan musyawarah harus ditaati. Jangan buat musyawarah baru, dari musyawarah sebelumnya. Karena ada keberkahan pada ketaatan.

Ketika misalnya dalam putusan musyawarah ditunjuk sebagai petugas mutakallim misalnya, seorang yang nampak lemah, bodoh, orang lemah amal, dan lemah ilmu. Namun, putusan amir yang nampak bertentangan itu, jika dilandasi dengan ‘tata tertib’ musyawarah sesuai dengan adab-adab musyawarah, maka perlu dan wajib ditaati. Musyawarah didahulukan dengan membaca do’a ilham, lalu peserta musyawarah harus banyak-banyak bershalawat. Juga musyawarah yang dikedepankan kepentingan untuk umat. Singkirkan kepentingan pribadi.     

Subhanallah wa bihamdihi, Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadu Allaailaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik    

0 komentar: