Berkah Ketaatan pada Hasil Musyawarah

Ketika Abu Bakar ra memimpin, hari pertamanya ia mengumpulkan para sahabat-sahabat Nabi Saw. Abu Bakar ra menanyakan apa yang menjadi rencana dari Rasulullah Saw yang belum terwujud. Beberapa orang kemudian menyebar untuk mencari tahu. Setelah itu mereka memberi laporan-laporan kepada Abu Bakar ra. Ternyata dari sekian banyak laporan, ada perintah kalau Rasulullah Saw sebelumnya sudah menyiapkan pasukan untuk menyerang Romawi di Syam. Panglima yang ditunjuk Rasulullah Saw adalah Usamah bin Zaid ra berdasarkan putusan musyawarah.

Di Madinah, orang-orang banyak yang tidak sepakat kalau Abu Bakar ra melanjutkan rencana itu, dengan memberangkatkan pasukan. Alasannya karena masih berkabung dengan kematian Rasulullah Saw. Sebagian orang juga tidak setuju dengan kepemimpinan Usamah bin Zaid ra, karena masih dianggap belum berpengalaman. Lagi pula dalam rombongan yang telah dibentuk, ada banyak kalangan orang tua dan tokoh-tokoh terkemuka. Mereka khawatir, jika orang-orang ini syahid akan menambah masalah politik yang belum reda. Belum lagi, ada nabi palsu yang muncul, Mushailimah. Selain itu, banyak juga yang berniat murtad (Al-Imran ayat 144).

Namun akhirnya, Abu Bakar ra tetap memilih melanjutkan apa yang telah diputuskan dari musyawarah sebelumnya. Mereka akhirnya mau menerima. Namun begitu, Umar bin Khattab ra menolak, jika pasukan tetap dipimpin oleh Usamah. Alasannya pasti kocar-kacir, walau jumlah pasukan tergolong besar. Kali ini Abu Bakar ra tetap pada pendiriannya. “Apakah kamu akan memecat, orang yang sudah diangkat oleh rasul?” tanya Abu Bakar ra pada Umar ra. Umar ra akhirnya terdiam.

Berkah dari kepatuhan Abu Bakar ra pada hasil musyawarah, sangat nyata. Pasukan Islam yang dipimpin Usamah bin Zaid ra, akhirnya menang. Bahkan, orang-orang murtad yang ingin memberontak ke Madinah, akhirnya mundur. Karena mereka mengira Madinah sudah aman. Dengan asumsi, jika pasukan yang diberangkatkan ke Madinah saja dengan kekuatan besar, maka pertahanan di Madinah pasti lebih kokoh.
Sebenarnya kepemimpinan Usamah bi Zaid sudah menjadi polemik pada zaman Rasulullah Saw. Mereka merasa tidak puas dengan keputusan Rasul dari hasil musyawarah, kalau Usamah ra itu bukan orang yang tepat. Rasulullah Saw waktu itu tetap dengan pendiriannya pada hasil putusan musyawarah, dengan mengatakan,”kalian meremehkan Usamah seperti kalian meremehkan ayahnya (Zaid) dulu.” 

Jadi, apa pun kenyataannya, walaupun tidak sesuai dengan logika, penuh banyak kesulitan-kesulitan, hasil putusan musyawarah harus ditaati. Jangan buat musyawarah baru, dari musyawarah sebelumnya. Karena ada keberkahan pada ketaatan.

Ketika misalnya dalam putusan musyawarah ditunjuk sebagai petugas mutakallim misalnya, seorang yang nampak lemah, bodoh, orang lemah amal, dan lemah ilmu. Namun, putusan amir yang nampak bertentangan itu, jika dilandasi dengan ‘tata tertib’ musyawarah sesuai dengan adab-adab musyawarah, maka perlu dan wajib ditaati. Musyawarah didahulukan dengan membaca do’a ilham, lalu peserta musyawarah harus banyak-banyak bershalawat. Juga musyawarah yang dikedepankan kepentingan untuk umat. Singkirkan kepentingan pribadi.     

Subhanallah wa bihamdihi, Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadu Allaailaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik    

Pentingnya Menjaga Nisab Tiga Hari (II)

Tiga hari adalah waktu yang sebentar. Kalaulah dalam 3 hari ada keperluan yang mengganggu selama kita I’tikaf, maka jangan katakan daftari. Katakan saja, saya niat I’tikaf selama 3 hari penuh, namun ada keperluan dakwah di kantor, warung, gerai, dll. Sebab meluruskan niat sangat penting. Jadi jangan ucap “saya niat I’tikaf 3 hari secara daftari.”

Niat seorang muslim lebih baik dari amalannya. Allah swt benar-benar adil sehingga niat seseorang lebih dicatat secara sempurna. Misalnya ada seorang muslim yang meninggal pada usia 60 tahun, maka setelah amalnya dihisab akhirnya akan ke surga juga untuk selama-lamanya. Begitu juga jika ada orang yang tidak beriman, katakan saja, meninggal pada usia 60 tahun, maka ia akan di neraka selama lamanya. Bagi Allah semuanya adil. Sebab, orang yang beriman tadi niat seumur hidup beriman kepada Allah Swt. Seandainya usianya mencapai 250 tahun, ia akan tetap beriman. Begitu juga dengan yang tidak beriman.

Jadi wajar. Apabila ada orang yang biasa shalat subuh ke masjid, lantas ada kalanya ia ketiduran, maka Allah Swt catat tetap berikan pahala. Ketiduran dianggap Allah Swt  sebagai sedekah saja. Begitu juga orang yang susah payah menghafal Qur’an lantas belum sempat khatam 30 juz ia keburu dipanggil Allah Swt, maka di dalam kubur akan di kirimkan malaikat untuk membantunya menghafal Qur’an, sehingga waktu dibangkitkan akan berada di barisan orang yang hafal Qur’an.. Aaamiieen…

Niat sangat penting. Amalan yang sudah istiqomah dilakukan, lantas ketika mau melakukan lagi ada halangan, insya Allah tetap mendapat pahala. Yang penting manjaga niat, terus niat, dan istiqomah dalam niat dan amal.

Hadirin yang dimuliakan Allah Swt
Dalam waktu yang sebentar ini, nisab 3 hari ada hal-hal yang perlu diperbaiki. Antara lain ;
Niat perbaikan tauhid
Niat perbaikan aqidah
Niat perbaikan mu’amalah
Niat perbaikan mu’asyarah
Niat perbaikan akhlaq

Juga dalam keluar 3 hari perlu perbaikan
4 hal yang perlu diperbanyak..
Dakwah ilallah
Ta’lim wa ta’lum
Dzikir ibadah
Hidmat
    

Cinta Sesama Muslim, Ikramul Muslimin

Sebagaimana yang telah kita pahami, setiap kita belajar dakwah ada dua hal yang akan kita usahakan untuk diperbaiki; pertama, niat untuk islah diri (perbaikan diri) dan kedua, belajar dakwah cara para nabi. Namun, kali ini soal islah diri. Karena ada relevansinya dengan ikramul Muslimin (memuliakan sesama muslim).  Bagian ikramul Muslimin, menjadi penting karena terkait dengan apa yang dirisaukan oleh baginda Nabi Saw sebelum wafatnya. Dalam banyak riwayat, Nabi Saw hingga 3 kali menyebut soal umat, “ummati… ummati.. ummati..” Ada beberapa sahabat yang hadir di situ. Manakala Abu bakar ra mengangguk, kecemasan Rasul Saw agak berkurang. Rasul Saw cemas keadaan umat Islam sepeninggal beliau, dan para sahabat berusaha menangkap isyarat “kesanggupan” untuk menjaga umat ini. Wajar, tak ada yang paling dicintai Nabi Saw lebih dari diri dan keluarganya, kecuali pada umatnya.   

Ini juga menjadi isyarat. Bagi orang-orang yang terdepan ikut dalam perjuangan menegakkan agama, berdakwah, harus menaruh perhatian lebih soal umat ini. Berusaha mengingatkan umat agar kembali pada jalan yang lurus, tapi tetap menjunjung tinggi, menghormati mereka karena sesama muslim. Rasul Saw pasti sangat marah, jika ada yang mengaku berjuang untuk agama, namun kenyataannya malah menghina umat, mendiskreditkan prilaku umat, dan segudang sikap merasa benar sendiri yang padahal mencederai umat di balik topengnya.  Tegasnya hal-hal yang menyangkut mu’asyarah (hubungan) dan akhlaq perlu benar-benar diperhatikan, meskipun sedang menyampaikan risalah kenabian.

Hari ini kita saksikan sendiri. Keadaan umat Islam sudah muncul dalam kondisi sekarat. Suatu kejahilan, malah dianggap kemajuan. Bershalawat di masjid misalnya, beberapa orang menganggapnya baik. Karena dengan menggunakan pengeras suara, syiar shalawat membahana ke setiap penjuru. Tapi, praktek ini kadang malah meleset jauh dari maksud yang sebenarnya. Semangat untuk shalawat lama-lama dibumbui dengan sedikit syair. Tambah semarak lagi jika dilengkapi dengan tabuhan rebana. Akhirnya secara tidak sadar, kebiasaan ini seperti cara ibadah umat lain, yang memuji Tuhan lewat kidung, senandung, syair dan iringan musik di dalam tempat ibadah. Kesucian masjid tergadai oleh orang yang mulanya mencintai shalawat di dalam masjid, lama-lama tergusur dengan hawa nafsu dan kebodohannya sendiri. Apalagi banyak juga ulama sekitar, namun hanya diam. Apakah mereka tidak sadar, kalau suara shalawat mereka mengacaukan bacaan orang yang sedang shalat di dalam masjid? Mengapa fungsi utama masjid untuk shalat harus kalah dengan orang yang mengaku cinta kepada rasul, dengan berteriak-teriak melantunkan shalawat?  

Seharusnya kita harus membenci dengan prilaku mereka. Kejahilan mereka sudah sangat akut dan kebodohan sudah mendaging.  Fitnah menyebar ke sana-sini. Sesuatu yang benar kadang tertutupi dengan keburukan. Meski begitu, jika ingin mengingatkan pelaku-pelaku ini, tentu dengan rasa kasih sayang. Jangan sampai dalam ceramah, dalam bayan, mengkritik perilaku mereka secara langsung dengan nada murka. Hargai ketidaktahuan mereka, kejahilan dari tradisi mereka dengan prilaku yang santun. Do’akan pada malam harinya, agar mereka mendapatkan hidayah. Jangan gunakan pedang berupa dalil-dalil yang akan menyakiti ulama mereka. Bencinya kepada mereka hanya sebatas prilakunya saja, bukan personality-nya. Kalaulah mereka paham, insya Allah mereka akan berhenti lakukan kejahilan itu.   

Kisah Abu bakar ra yang tertinggal shalat berjamaah, karena di depannya ada seorang lelaki Yahudi yang juga sedang berjalan tertatih-tatih harus menjadi pelajaran penting bagi kita semua. Shalat berjamaah memang punya segudang keutamaan, namun menghormati orang yang lebih tua (akhlaq), bagi para sahabat Nabi Saw lebih diutamakan. Begitu pula dalam kegiatan dakwah, perlu mu’asyarah kepada sesama muslim dijunjung tinggi. Mengajari tanpa harus memaki. Prinsip dakwah ala nabi yaitu mengalah selama tidak meninggalkan kewajiban. Bukan ciri da'i yang disukai Allah Swt, jika rebutan untuk shaft pertama dengan orang yang sudah renta. 

Kalaulah dalam kegiatan dakwah, meski ini sebuah kebenaran, harus terusir dari kampung halaman sendiri karena hambatan dari mereka, maka lagi-lagi kita harus pindah. Demi menjaga mu’asyarah kepada ulama mereka. Saudara-saudara kita di Indonesia, ada jamaah jalan kaki yang tidak boleh masuk ke dalam masjid, kecuali waktu-waktu shalat saja. Jamaah ikram dengan prilaku mereka. Jamaah akhirnya bukan singgah dari satu masjid ke masjid lain. Tapi dari kuburan ke kuburan lain. Mereka I’tikaf di makam. Karena hanya tempat itu yang boleh disinggahi. Namun jamaah sadar, pengorbanan mereka masih belum apa-apa jika dibandingkan dengan sahabat Nabi Saw.

Ada banyak contoh ikramul Muslimin dalam hadis. Karena atas dasar cinta kepada umat Islam, kita akan berdakwah sebagai penerang jalan. Meski begitu, kita juga harus ikram jika dalam dakwah mengalami gangguan dari orang-orang jahil. Bukankah Nabi Saw adalah nabi yang penyayang umat, yang tentu berbeda dengan nabi lain yang tergesa-gesa memohon azab apabila dakwah sudah tidak lagi didengar? Ciri khusus pada usaha dakwah yang dijalankan Nabi Saw adalah selalu memohon kesejahteraan pada umatnya, walau keadaan ketakwaan umat sangat beragam.

Subhanallah wa bihamdihi, Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadu Allaailaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik    

Perbedaan Adalah Rahmat

Sebelum dialog lebih jauh, sebaiknya kita sepakati terlebih dahulu beberapa hal. Pertama, Allah Swt adalah Tuhan. Ia berkuasa terhadap sesuatu, yang kekuasaannya tidak terbatas. Kedua, Islam adalah agama yang hanya satu-satunya yang benar menurut Allah Swt, yang disampaikan oleh seluruh para Nabi dan Rasul termasuk Muhammad Saw. Ketiga, manusia hanyalah makhluk yang akal pikirannya terbatas, yang dengan keterbatasannya itu menjadikan mashlahat sehingga lebih mulia dari makhluk Allah Swt lainnya.  

Saya bisa dijewer para kiayi kalau mengulas soal khilafiah. Kata mereka, perpedaan pendapat soal fikih dan teologi sudah selesai. Pintu sudah tertutup. Da’i itu seperti dokter yang kerjanya mengobati, bukan seperti hakim yang mengadili. Jadi, tidak perlu dibukakan pintu-pintu ini. Saya sepakat. Dari itu, dalam kesempatan ini saya hanya memberikan catatan mengapa pintu sudah selayaknya ditutup.  Dengan demikian, jika dalam ulasan berikut terkesan macem-macem, saya sebagai hamba Allah Swt mohon ampun sebesar-besarnya atas kelemahan ini.

Akar Masalah Perbedaan

Barangkali seorang muallaf akan bingung mengapa dalam Islam banyak pendapat, katanya banyak aliran-aliran. Perbedaan ini hanya bersifat cabang (furuiyyah) bukan akar. Kalau wajah Islam kekinian diserang dari prilaku umatnya memang lemah. Namun, kalau diserang pada sisi teologi, karena Islam agama yang dari Allah Swt, mustahil keliru. Agama dan kepercayaan lain, jika diserang dari sisi teologi pasti hancur berantakan, karena hanya buatan manusia yang memaksa berhala yang tidak bisa apa-apa sebagai tempat memohon perlindungan. So, perbedaan itu biasa dan lumrah. Nah, yang gawat adalah jika perbedaan wilayah aqidah (teologi). Wahai saudaraku seagama, Islam bukanlah seperti ilmu eksak yang hanya memiliki kebenaran satu saja berdasarkan opini. Banyak sudut pandang kebenaran yang penilaian itu mutlak dari Allah Swt sebagai satu jalan, yang jalan-jalan itu sudah ditempuh para Nabi alaihissalam dan sahabatnya.  

Sikap fanatisme suku, bangsa, ras, kelompok dan lainnya (‘ashabiyyah) dan tradisi nenek moyang (‘abaiyyah) kepada tokoh tertentu adalah sumber masalah dari perbedaan dalam Islam. Sikap buruk ini warisan masa jahiliyyah dahulu. Pihak yang satu merasa paling sunnah, pihak yang lain juga punya anggapan yang sama. Akibatnya ketika orang lain kurang dalam memahami sunnah sering dianggap bukan ahli sunnah. Hal ini karena cara pandang ‘ashabiyyah.. Astagfirullah.. 

Dari Jubair bin Muth’im ra, Rasulullah Saw bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak kepada ‘ashabiyyah. Bukan dari golongan kami orang yang berjuang karena ‘ashabiyyah. Dan bukan dari golongan kami orang yang mati karena (memegang teguh) ashabiyyah.” (HR. Abu Daud, bab ‘Ashabiyyah. Nomor 5121).   

Berikutnya masalah ‘abaiyyah. Fanatisme terhadap tradisi nenek moyang, juga bagian dari ragamnya perbedaan. Muslim yang taat pada Allah Swt, mendahulukan cintanya pada Allah Swt. Apa pun bentuk kehendak atau kebiasaan nenek moyang yang tidak sesuai dengan Islam, memang nyata ada larangan dari Qur’an dan Hadis, sudah selayaknya patut ditinggalkan. Misalnya Allah Swt melarang adanya sekutu atau perantara dalam beribadah. Apakah berbentuk patung, batu, koin logam, kayu, metal, gambar, atau apa pun, saat menyembah Allah Swt, maka seorang hamba harus membuka hubungan langsung dengan Allah Swt. Kebiasaan nenek moyang yang menjadikan perantara, siapa pun tokoh yang menyarankan, adalah pola pemikiran lama seperti para penyembah berhala sebelum kedatangan Nabi Saw. Belum lagi soal aqidah, soal sunnah saja, jika mengikuti tradisi tanpa kaji ulang, akan macem-macem perbedaan baru.  

Belajar Memahami Perbedaan

Well, Saat Abdullah ibn Mubarak rah, salah seorang ulama kenamaan (tabi’ut tabiin) pernah ditanya oleh seorang muridnya soal Muawiyah ra dan membandingkannya dengan Umar bin Abdul Aziz rah. Waktu Umar bin Abdul Aziz memimpin, raja itu bergelar Umar ke-dua, negara maju rakyat adil. Namun jika dibandingkan dengan gaya Muawiyah ra memimpin, Islam mengalami kemunduran. Maksud dari murid itu ingin menyanjung Umar bin Abdul Aziz rah, khalifah yang meninggal belum lama dari masa-masa mereka. Namun, Abdullah bin Mubarak, ahli hadis yang hidup se-zaman dengan ulama empat Mazhab lainnya, pertanyaan tadi dijawab dengan murka. Bagi Abdullah bin Mubarak rah, sosok Muawiyah ra adalah sahabat Nabi Saw yang juga seorang perawi hadis. Hidup se-zaman dengan Nabi Saw, ikut berjuang dengan Nabi Saw, merasakan pahit-getirnya dakwah Islam pada permulaan Islam. Nah, sedangkan jika dibandingkan dengan Umar bin Abdul Aziz rah hanya sosok pengikut dari tabiin. Sama sekali tidak sejajar. Bahkan, dengan kerasnya, beliau katakan debu-debu yang menempel di hidung keledai Muawiyah ra saat menemani perjuangan Nabi Saw, tidak sebanding dengan kebesaran Umar bin Abdul Aziz rah. Apalagi, maaf, seandainya dibandingkan ulama-ulama yang hidup pada zaman ini (kekinian).  

Kadang cendekiawan Muslim muda, terlalu bersemangat mengoreksi ulama-ulama terdahulu sehingga kritik yang dibangun cenderung ke arah egoisme. Kurang paham sejarah perjuangan Islam, dan mencari celah di antara huru-hara peradaban. Salah satunya, ada ulama yang juga dosen dari Los Angeles, mengkritik soal Abu Hurairah ra. Katanya banyak kejanggalan soal banyak riwayat hadis dan masa hidup dari Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi ra (akrabnya Abu Hurairah ra). Jika ditinjau dari sejarah, memang Abu Hurairah ra ini bukan termasuk ulama. Ia termasuk ahli suffah. Bahasa kasarnya, ia hanya “gelandangan” yang tidak punya pekerjaan tetap. Namun, ia karena “gelandangan” jadi lebih punya banyak waktu menemani Nabi Saw. Seperti Zaid bin Haritsah ra, anak angkat Nabi Saw yang banyak menyertai perjuangan Nabi Saw. Jadi wajar, banyak hadis yang bersanad dari Abu Hurairah ra, yang juga termasuk orang awwalun. Masuk Islam pada permulaan Islam. Jadi jelas, Jika dibandingkan dengan kritik sang profesor Los Angeles dengan Abu Hurairah ra kurang menunjukkan rasa hormat. Bahkan, ahli hadis kenamaan Bukhari rah, banyak mencantumkan hadis yang bersanad dari Abu Hurairah ra. Lagi-lagi, apakah Sang profesor masih merasa lebih hebat dari Imam Bukhari rah?

Harus diakui, para sahabat Nabi adalah manusia biasa. Kadang ada salah paham di antara mereka sendiri yang kemudian Nabi Saw menjadi penengah di antara kedua. Salah satunya contohnya adalah ketika dalam musyawarah setelah perang Badar. Umar bin Khattab ra menyarankan untuk dibunuh saja. Sedangkan Abu Bakar ra menyarankan untuk dibebaskan saja. Barangkali mereka akan bertaubat, jelaskan Abu Bakar ra. Abdullah bin Mas’ud ra mengatakan, kalau Nabi Saw menengahi mereka secara bijak dengan mengatakan Sikap Abu bakar ra seperti Nabi Ibrahim as, dan sikap Umar ra seperti Nabi Nuh as. Akhirnya Nabi Saw memutuskan agar para tawanan tidak dibunuh. Tidak ada yang disalahkan dalam musyawarah.

Contoh lain, adalah soal Abu Hurairah ra yang diberikan sebuah sendal (alas kaki) dari Rasulullah Saw agar segera ke pasar (tempat umum), guna memberitahukan kalau yang mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah (masuk Islam), akan dimasukkan ke dalam surga. Hadis ini memang benar. Ada banyak hadis yang isinya mirip. Namun, manakala Abu Hurairah ra sampaikan ke muka umum, tiba-tiba datanglah Umar bin Khattab ra dan memukulnya hingga terjatuh. Umar ra tahu, dengan sendal Rasulullah Saw yang ada di tangan Abu Hurairah ra, cukup menegaskan kalau ucapan Abu Hurairah ra memang benar dari Rasul Saw. Akan tetapi Umar ra ingin agar setiap muslim harus berusaha dahulu dengan amal agar jangan sampai orang hanya berhayal-hayal soal surga tanpa beramal. Akhirnya kedua orang sahabat itu menemui Nabi Saw, dan Nabi Saw setuju dengan pendapat Umar bin Khattab ra tanpa perlu menghakimi Abu Hurairah ra. 

Menyikapi Perbedaan

Terlepas dari itu semua, intinya Rasulullah Saw sudah menyatakan kalau para sahabat Nabi Saw, seperti bintang-bintang yang bertaburan di angkasa. Manapun yang diikuti, arahnya bermuara pada Nabi Saw juga. Dengan perbedaan ini, menjadikan rahmat. Tidak perlu merasa paling benar dengan mengatakan ulama kekinian lebih hebat dari generasi pada awal permulaan Islam. Para sahabat juga banyak yang sudah memperoleh ampunan dari Allah Swt (QS. Al-Anfal : 74, At-Taubah : 100). Mereka nyata orang yang sudah sukses, dan mendapat legitimasi langsung dari Allah Swt. Jikalau ada yang belum diampuni, hanya Allah Swt yang Maha Mengetahui.

Andaikan kita sepakat dengan Rasulullah Saw soal beda pendapat, insya Allah opini di kepala kita akan tetap mengatakan kalau perbedaan itu rahmat bukan azab. Perbedaan juga sunatullah. Jangan pernah memaksa agar orang lain mengikuti mazhab tertentu, yang barangkali orang lain juga sudah mengikuti sahabat Nabi Saw juga.

Hati ini ada keraguan soal nikah, soal praktek ibadah yang biasa dilakukan, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah munajat pada Allah Swt. Agar diberikan jalan yang terang, dan kekuatan untuk menempuh jalan itu. Berikutnya, tanyakan pada ulama. Jangan merasa benar sendiri, apalagi ikut dalam mengkritik amal-amal para sahabat Nabi Saw. Seandainya ada dari saudara-saudara kita yang secara nyata “menyimpang” kiranya, sebagai bentuk cinta pada saudara, kita doakan saja semoga mendapatkan hidayah dan mampu mengikutinya.      

Subhanallah wa bihamdihi, Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadu Allaailaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik
                  

Umat Nabi Muhammad Saw, Umat Dakwah

Ketika masa jahiliah, peradaban bangsa lain sudah ada. India, China, Yunani, semuanya dikenal memiliki sejarah bangsa-bangsa kuno. Namun, dari kesemuanya itu, Romawi dan Persia yang masih menjadi adidaya. Persia terkenal dengan tentara bergajahnya. Romawi dengan kekuatan militer tempur yang tidak kalah mumpuni. Lalu, mengapa Islam harus melirik ke Arab? Bangsa yang hidup di tengah tanah yang tandus, dengan Mekkah sebagai tempat suci yang lebih dari 300 berhala terbuat dari kayu dan bebatuan.  Jawabannya karena potensi.

Makkah sangat potensial untuk membangun peradaban manusia yang taat pada Allah Swt. Sebelumnya, Ibrahim as sudah bersusah payah membangun wilayah itu. Ia bahkan meninggalkan Ismail as ke negeri jauh, demi dakwah, bukan demi nafkah. Dan setelah belasan tahun, Nabi Ibrahim as kembali ke Makkah. Bertemu dengan anaknya, Ismail as yang sudah remaja. Ibrahim as juga pernah berdo’a agar keturunannya juga dijadikan pemimpin. Tentu kepemimpinan di sini terkait dengan agama. Sehingga wajar, para mufassir mengatakan 11 keturunan Nabi Ibrahim as dijadikan para nabi. Nabi Muhammad Saw anak cucu Nabi Ibrahim as dari jalur Nabi Ismail as. Allah Swt yang Maha Mengetahui, mengapa harus Nabi Muhammad Saw diturunkan di Makkah. Namun, Makkah sudah punya potensi besar karena pengorbanan para nabi sebelumnya. Bukan tempat baru dan asing.

Nabi Muhammad Saw, nabi pilihan. Nabi terakhir yang dimuliakan dengan diberikan keistimewaan. Salah satunya, dengan menjadikan umat Nabi Saw sebagai umat dakwah. Umat terdahulu, puncak ketaatan diraih dengan cara rahbaniyyah. Mengasingkan diri hanya untuk beribadah. Sehingga wajar, ada banyak kisah kesalehan umat terdahulu yang beribadah hingga ratusan tahun. Sujud berhari-hari, berzikir berbulan-bulan. Sementara umat Muhammad Saw, diberikan umur yang pendek. Diberikan keistimewaan dengan punya kesempatan yang sama dengan Nabi Saw, yakni berdakwah. Sebab, jika bersaing dengan lama dan banyaknya beribadah (rahbaniyyah), rasanya sangat tidak adil. Postur badan umat terdahulu juga lebih kekar. Arkeolog menyebut “raksaksa” untuk bahasa yang sederhana panggilan umat terdahulu. Dengan begitu, jika masih ada umat ini yang berfikir rahbaniyyah adalah cara memperbaiki diri guna mendekatkan diri pada Allah Swt, berarti masih mewarisi pola pikir lama dari umat sebelum Muhammad Saw.

Model Dakwah

Sebagai umat Muhammad Saw, yang berhak atas warisan dakwah, ada banyak rupa model dakwah yang dijalankan. Ada yang langsung mengikuti cara para nabi, dan ada yang membuat modifikasi sesuai dengan kebutuhan zaman. Model modifikasi misalnya, selalu memanfaatkan situasi dan keadaan lingkungan. Sunan Kalijaga yang memanfaatkan tabuhan, lirik-lirik, puisi, dan bentuk kesenangan masyarakat lainnya untuk meleburkan dakwah agar mudah diterima. Barangkali pemikiran ini, dakwah harus berbaur dengan peradaban masyarakat. Saat ini juga banyak media cetak, elektronik, maupun internet yang digunakan untuk berdakwah. Tujuannya sama, untuk mengingatkan manusia kepada agama. Mengajak kembali pada Allah Swt.

Sementara itu, cara lama yang digunakan para nabi dan diteruskan para sahabat Nabi Saw, dengan langsung mendatangi umat. Menyampaikan pentingnya iman dan amal soleh melalui komunikasi verbal. Berkeliling dari rumah ke rumah, pintu ke pintu, dan halayak ramai demi tersiarnya agama. Cara dakwah seperti ini lebih mengena. Sebab obyek dakwah langsung merasakan manfaat dari dakwah (lebih humanis). Selain itu, subyek dakwah juga merasakan manfaat yang sama, yakni niat untuk islah diri (memperbaiki diri). Logika sederhananya, muazin yang mengumandangkan azan secara langsung, akan mempertebal imannya sendiri untuk shalat berjamaah. Pastilah muazin akan ikut sholat berjamaah, karena dia yang memanggil orang-orang untuk azan. Sangat ironi jika muazin setelah ber-azan di masjid lalu ia sendiri malah pulang untuk shalat di rumah.

Dakwah dengan model lama, jika diterapkan dalam konteks kekinian, bukan tanpa masalah. Masalah yang bermunculan manakala yang ikut ambil bagian dari kerja ini, dilakukan oleh khalayak umum. Bukan hanya kalangan para ulama saja, orang awam pun turut serta dalam dakwah. Wajar. Jika dakwah hanya dipahami sebagai sekedar “penyampaian,” orang yang “menyampaikan” harus mumpuni dalam segala hal. Dari keilmuan dan kesalehan harus “sempurna.” Dirinya dahulu, baru orang lain lain diperbaiki. Pastinya yang paling pantas bukan lagi para ulama, tapi hanya para nabi. Namun, karena nabi sudah tidak diutus lagi, khalayak umum perlu turut ambil bagian dalam kerja dakwah. Tujuannya bukan sekedar penyampaian, tapi islah diri. Meskipun ada beberapa pemahaman, kalau nantinya Nabi Isa as dan Imam Mahdi akan diturunkan menjelang akhir zaman. Risalah kenabian sudah ditutup Nabi Muhammad Saw. Kedatangan mereka berdua hanya untuk membunuh Dajjal. Bukan membuat risalah yang baru dan kitab suci yang baru.

Pewaris Dakwah

Banyak nada-nada sinis yang dilontarkan pada para da’i yang datang dari orang awam dengan model lama, mengikuti sunnah Nabi Saw dan para sahabatnya. Seakan mereka tersesat, menyesatkan dan membuat ajaran baru. Padahal, dahulu sikap yang sama juga dirasakan pada Nabi Isa as (sebagai tukang kayu), pada Nabi Muhammad Saw (penggembala domba). Mereka berdua seakan berkasta rendah, yang tidak pernah layak untuk menyampaikan ajaran dari Allah Swt. Kalau dahulu, yang menentang dakwah kebanyakan dari kaum musyrikin dan orang-orang kafir, saat ini justru yang mementang dakwah kebanyakan dari kalangan umat Islam sendiri. Motifnya beragam. Ada yang merasa dakwahnya tersaingi, terancam “ladang nafkahnya,” popularitasnya terjungkal, dsb. Lebih-lebih justru kebanyakan dari mereka kalangan ahli ilmu, ahli agama.

Para ahli ilmu banyak menilai kalau zaman ini telah banyak kerusakan yang diderita umat Islam. Mereka juga ingin memperbaiki keadaan. Tapi, cara yang mereka tempuh harus dengan modelnya. Harus menjadi ahli ilmu terlebih dahulu, barulah terjun ke medan dakwah. Bukan tanpa hasil, jika cara ini dilakukan. Sayangnya, jika harus menjadi ahli ilmu terlebih dahulu justru banyak yang enggan berdakwah. Lagi pula, saat ini kerusakan umat juga sudah merambah pada ahli ilmu. Segala bentuk kemaksiatan dan kejahatan, justru dilakukan lebih parah oleh orang yang di-klaim sebagai ahli ilmu. Apalagi dakwah adalah warisan kepada siapa pun yang merasa umat Nabi Muhammad Saw. Seyogyanya ahli ilmu, ahli agama menjadi barisan terdepan dalam dakwah. Terutama dengan dakwah cara lama, cara yang ditempuh nabi-nabi. Atau minimal, berbesar hati kepada cara orang lain berdakwah. Membantu memberikan arahan-arahan bagaimana seharusnya menutupi kekurangan dakwah yang sudah dijalankan.

Jika mau dikaji lebih lanjut, para ahli ilmu yang menentang pewaris dakwah dengan mengajukan syarat ilmu sebagai pendakwah seperti model masa lalu, yang umatnya selalu mengajukan syarat mu’jizat jika ada nabi yang baru dikenal. Jadi, ini hanya alasan klasik saja. Bahkan, jika orang yang berdakwah orang alim sejajar dengan mufti besar, mengikuti sunnah, menggunakan cara lama kenabian, banyak juga ahli ilmu yang tetap lari dan menentang. Seakan bicara dakwah hanya bicara yang pantas dilakukan nabi, bukan lagi orang biasa. Bukankah seharusnya lihat dan dengar apa yang disampaikan, bukan siapa yang berbicara.  

The Real of Dakwah

Nabi Saw sejak dahulu enggan mengkonsumsi makanan-minuman dari hasil sedekah. Hal ini karena menjaga kalau diri dan keluarganya diharamkan mengkonsumsi dari pemberian orang meskipun sudah jelas barang yang halal, agar tidak terdistorsi kalau Nabi Saw menjadi nabi yang “pengemis.” Hingga dakwah Nabi  Saw juga tidak tergerus dengan sedekah (imbalan keduniaan).

Sedangkan umatnya diperbolehkan. Meskipun dalam berdakwah boleh menerima pemberian (sedekah), namun, jika mau jujur mengikuti model dakwah para nabi dan orang soleh terdahulu, idealnya menolak imbalan apa pun. Risalah langit harus disampaikan dengan penuh keikhlasan tanpa mengharap upah apa pun, kecuali ganjaran dari Allah Swt. Kita bisa melihat kisah ini dalam Surat Yasiin dari ayat 13-29. Terutama ayat ke-21, “. Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Maksud dari kata “orang” di sini, adalah para utusan, para da’i. Mereka jelas tidak menghendaki upah apa pun, dan hanya sekedar menyampaikan ajaran (ayat ke-17). Dari itu, orang-orang yang menjaga keikhlasan dakwah pasti menolak segala bentuk pemberian dari orang. Hati kecilnya merasa tergadai jika ada bantuan berupa materi yang datang, karena melihat khazanah Allah Swt yang lebih besar dari sekedar apa yang diperoleh selama di dunia. Dakwah bukan sarana memperkaya diri, hanya sarana untuk perbaikan diri.

Perbaikan Diri

Sudah disinggung sebelumnya, niat berdakwah adalah niat untuk perbaikan diri. Perbaikan yang bukan seperti para rahib yang mengurung diri pada tempat jauh dari keramaian, hanya beribadah pada Allah Swt. Perbaikan yang dimaksud bertujuan memperkokoh iman, dengan menyampaikan risalah kenabian, kenalkan kalam dakwah (Allah Maha Pencipta, Maha Merajai, dan Maha Pemberi Rezeki) pada semua orang. Jadi bukan mencari simpatisan, membuat group yang bernuansa politis untuk mencapai maksud tertentu dalam pemerintahan. Dakwah dengan syariat orang lain sebagai media, sementara hakikatnya adalah diri sendiri yang didakwahi. Sehingga semakin banyak berdakwah, semakin jauh perjalanan dakwah, buahnya semakin banyak perbaikan diri yang diperoleh. Tidak terlalu peduli dengan hasil yang dicapai, banyaknya pengikut, atau besarnya pengaruh dalam masyarakat. Karena nabi-nabi terdahulu juga berprinsip yang sama. Hanya menyampaikan risalah, yang hidayah hanya ada dalam genggaman Allah Swt.

Cara pandang dakwah nabi, adalah cara pandang potensi. Dalam diri seseorang ada potensi untuk taat pada Allah dan potensi sebaliknya. Jikalau hanya melirik segala keburukan manusia, dakwah seakan sudah tertutup. Karena hampir semua orang ditemui dengan banyak dosa dan kesalahan. Sama seperti melihat tanah Arab sebagai tempat turunnya Nabi Saw, yang saat itu melihat kondisi masyarakat sudah sangat bobrok dengan praktek jahiliyyah.

Dakwah adalah usaha akhirat, bukan usaha dunia. Dengan bersungguh-sungguh berdakwah, sudah barang tentu Allah Swt akan penuhi janji-Nya. “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Qs. Al-Ankabut : 69). Perbaikan diri hanya akan didapat dengan cara berdakwah yang diniatkan hanya untuk kehidupan akhirat. Dakwah yang benar-benar diperuntukkan dengan niat islah diri, bukan sekedar menceramahi orang lain lalu meninggalkannya tanpa peduli pada diri sendiri. Dakwah yang mengorbankan diri, harta, dan waktu untuk tegaknya Islam yang sudah mulai layu.

Penutup

Wahai saudaraku seiman… Kematian Nabi Muhammad Saw adalah sunnatullah. Dan mustahil beliau selalu ada di sisi kita selama ratusan tahun. Ambillah bagian dalam usaha dakwah ini. Siapa pun dan apa pun profesi dirimu, jika merasa umat Nabi Saw, engkau berhak untuk berdakwah. Karena dakwah adalah warisan para nabi. Tidak peduli seberapa banyak ilmu yang sudah engkau raih, dakwah untuk menyelamatkan diri dan keluarga dari azab Allah Swt yang pedih.

Seandainya kita harus mengorbankan waktu sebentar untuk menuntut ilmu agama, maka tetap ada kewajiban kita setelah kembali untuk ambil porsi dakwah. Karena tujuan menuntut ilmu untuk mengingatkan orang sekeliling kita, terutama menjaga diri kita sendiri. Renungilah kembali, untuk apa menempuh ilmu agama, jika bukan untuk berdakwah.

Allah Swt  berfirman :
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Qs. At-Taubah : 122).

Subhanallah wa bihamdihi, Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadu Allaailaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik