Sebagaimana yang telah kita pahami, setiap kita belajar dakwah ada dua hal yang akan kita usahakan untuk diperbaiki; pertama, niat untuk islah diri (perbaikan diri) dan kedua, belajar dakwah cara para nabi. Namun, kali ini soal islah diri. Karena ada relevansinya dengan ikramul Muslimin (memuliakan sesama muslim). Bagian ikramul Muslimin, menjadi penting karena terkait dengan apa yang dirisaukan oleh baginda Nabi Saw sebelum wafatnya. Dalam banyak riwayat, Nabi Saw hingga 3 kali menyebut soal umat, “ummati… ummati.. ummati..” Ada beberapa sahabat yang hadir di situ. Manakala Abu bakar ra mengangguk, kecemasan Rasul Saw agak berkurang. Rasul Saw cemas keadaan umat Islam sepeninggal beliau, dan para sahabat berusaha menangkap isyarat “kesanggupan” untuk menjaga umat ini. Wajar, tak ada yang paling dicintai Nabi Saw lebih dari diri dan keluarganya, kecuali pada umatnya.
Ini juga menjadi isyarat. Bagi orang-orang yang terdepan ikut dalam perjuangan menegakkan agama, berdakwah, harus menaruh perhatian lebih soal umat ini. Berusaha mengingatkan umat agar kembali pada jalan yang lurus, tapi tetap menjunjung tinggi, menghormati mereka karena sesama muslim. Rasul Saw pasti sangat marah, jika ada yang mengaku berjuang untuk agama, namun kenyataannya malah menghina umat, mendiskreditkan prilaku umat, dan segudang sikap merasa benar sendiri yang padahal mencederai umat di balik topengnya. Tegasnya hal-hal yang menyangkut mu’asyarah (hubungan) dan akhlaq perlu benar-benar diperhatikan, meskipun sedang menyampaikan risalah kenabian.
Hari ini kita saksikan sendiri. Keadaan umat Islam sudah muncul dalam kondisi sekarat. Suatu kejahilan, malah dianggap kemajuan. Bershalawat di masjid misalnya, beberapa orang menganggapnya baik. Karena dengan menggunakan pengeras suara, syiar shalawat membahana ke setiap penjuru. Tapi, praktek ini kadang malah meleset jauh dari maksud yang sebenarnya. Semangat untuk shalawat lama-lama dibumbui dengan sedikit syair. Tambah semarak lagi jika dilengkapi dengan tabuhan rebana. Akhirnya secara tidak sadar, kebiasaan ini seperti cara ibadah umat lain, yang memuji Tuhan lewat kidung, senandung, syair dan iringan musik di dalam tempat ibadah. Kesucian masjid tergadai oleh orang yang mulanya mencintai shalawat di dalam masjid, lama-lama tergusur dengan hawa nafsu dan kebodohannya sendiri. Apalagi banyak juga ulama sekitar, namun hanya diam. Apakah mereka tidak sadar, kalau suara shalawat mereka mengacaukan bacaan orang yang sedang shalat di dalam masjid? Mengapa fungsi utama masjid untuk shalat harus kalah dengan orang yang mengaku cinta kepada rasul, dengan berteriak-teriak melantunkan shalawat?
Seharusnya kita harus membenci dengan prilaku mereka. Kejahilan mereka sudah sangat akut dan kebodohan sudah mendaging. Fitnah menyebar ke sana-sini. Sesuatu yang benar kadang tertutupi dengan keburukan. Meski begitu, jika ingin mengingatkan pelaku-pelaku ini, tentu dengan rasa kasih sayang. Jangan sampai dalam ceramah, dalam bayan, mengkritik perilaku mereka secara langsung dengan nada murka. Hargai ketidaktahuan mereka, kejahilan dari tradisi mereka dengan prilaku yang santun. Do’akan pada malam harinya, agar mereka mendapatkan hidayah. Jangan gunakan pedang berupa dalil-dalil yang akan menyakiti ulama mereka. Bencinya kepada mereka hanya sebatas prilakunya saja, bukan personality-nya. Kalaulah mereka paham, insya Allah mereka akan berhenti lakukan kejahilan itu.
Kisah Abu bakar ra yang tertinggal shalat berjamaah, karena di depannya ada seorang lelaki Yahudi yang juga sedang berjalan tertatih-tatih harus menjadi pelajaran penting bagi kita semua. Shalat berjamaah memang punya segudang keutamaan, namun menghormati orang yang lebih tua (akhlaq), bagi para sahabat Nabi Saw lebih diutamakan. Begitu pula dalam kegiatan dakwah, perlu mu’asyarah kepada sesama muslim dijunjung tinggi. Mengajari tanpa harus memaki. Prinsip dakwah ala nabi yaitu mengalah selama tidak meninggalkan kewajiban. Bukan ciri da'i yang disukai Allah Swt, jika rebutan untuk shaft pertama dengan orang yang sudah renta.
Kalaulah dalam kegiatan dakwah, meski ini sebuah kebenaran, harus terusir dari kampung halaman sendiri karena hambatan dari mereka, maka lagi-lagi kita harus pindah. Demi menjaga mu’asyarah kepada ulama mereka. Saudara-saudara kita di Indonesia, ada jamaah jalan kaki yang tidak boleh masuk ke dalam masjid, kecuali waktu-waktu shalat saja. Jamaah ikram dengan prilaku mereka. Jamaah akhirnya bukan singgah dari satu masjid ke masjid lain. Tapi dari kuburan ke kuburan lain. Mereka I’tikaf di makam. Karena hanya tempat itu yang boleh disinggahi. Namun jamaah sadar, pengorbanan mereka masih belum apa-apa jika dibandingkan dengan sahabat Nabi Saw.
Ada banyak contoh ikramul Muslimin dalam hadis. Karena atas dasar cinta kepada umat Islam, kita akan berdakwah sebagai penerang jalan. Meski begitu, kita juga harus ikram jika dalam dakwah mengalami gangguan dari orang-orang jahil. Bukankah Nabi Saw adalah nabi yang penyayang umat, yang tentu berbeda dengan nabi lain yang tergesa-gesa memohon azab apabila dakwah sudah tidak lagi didengar? Ciri khusus pada usaha dakwah yang dijalankan Nabi Saw adalah selalu memohon kesejahteraan pada umatnya, walau keadaan ketakwaan umat sangat beragam.
Subhanallah wa bihamdihi, Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadu Allaailaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: