Sebelum dialog lebih jauh, sebaiknya kita sepakati terlebih dahulu beberapa hal. Pertama, Allah Swt adalah Tuhan. Ia berkuasa terhadap sesuatu, yang kekuasaannya tidak terbatas. Kedua, Islam adalah agama yang hanya satu-satunya yang benar menurut Allah Swt, yang disampaikan oleh seluruh para Nabi dan Rasul termasuk Muhammad Saw. Ketiga, manusia hanyalah makhluk yang akal pikirannya terbatas, yang dengan keterbatasannya itu menjadikan mashlahat sehingga lebih mulia dari makhluk Allah Swt lainnya.
Saya bisa dijewer para kiayi kalau mengulas soal khilafiah. Kata mereka, perpedaan pendapat soal fikih dan teologi sudah selesai. Pintu sudah tertutup. Da’i itu seperti dokter yang kerjanya mengobati, bukan seperti hakim yang mengadili. Jadi, tidak perlu dibukakan pintu-pintu ini. Saya sepakat. Dari itu, dalam kesempatan ini saya hanya memberikan catatan mengapa pintu sudah selayaknya ditutup. Dengan demikian, jika dalam ulasan berikut terkesan macem-macem, saya sebagai hamba Allah Swt mohon ampun sebesar-besarnya atas kelemahan ini.
Akar Masalah Perbedaan
Barangkali seorang muallaf akan bingung mengapa dalam Islam banyak pendapat, katanya banyak aliran-aliran. Perbedaan ini hanya bersifat cabang (furuiyyah) bukan akar. Kalau wajah Islam kekinian diserang dari prilaku umatnya memang lemah. Namun, kalau diserang pada sisi teologi, karena Islam agama yang dari Allah Swt, mustahil keliru. Agama dan kepercayaan lain, jika diserang dari sisi teologi pasti hancur berantakan, karena hanya buatan manusia yang memaksa berhala yang tidak bisa apa-apa sebagai tempat memohon perlindungan. So, perbedaan itu biasa dan lumrah. Nah, yang gawat adalah jika perbedaan wilayah aqidah (teologi). Wahai saudaraku seagama, Islam bukanlah seperti ilmu eksak yang hanya memiliki kebenaran satu saja berdasarkan opini. Banyak sudut pandang kebenaran yang penilaian itu mutlak dari Allah Swt sebagai satu jalan, yang jalan-jalan itu sudah ditempuh para Nabi alaihissalam dan sahabatnya.
Sikap fanatisme suku, bangsa, ras, kelompok dan lainnya (‘ashabiyyah) dan tradisi nenek moyang (‘abaiyyah) kepada tokoh tertentu adalah sumber masalah dari perbedaan dalam Islam. Sikap buruk ini warisan masa jahiliyyah dahulu. Pihak yang satu merasa paling sunnah, pihak yang lain juga punya anggapan yang sama. Akibatnya ketika orang lain kurang dalam memahami sunnah sering dianggap bukan ahli sunnah. Hal ini karena cara pandang ‘ashabiyyah.. Astagfirullah..
Dari Jubair bin Muth’im ra, Rasulullah Saw bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak kepada ‘ashabiyyah. Bukan dari golongan kami orang yang berjuang karena ‘ashabiyyah. Dan bukan dari golongan kami orang yang mati karena (memegang teguh) ashabiyyah.” (HR. Abu Daud, bab ‘Ashabiyyah. Nomor 5121).
Berikutnya masalah ‘abaiyyah. Fanatisme terhadap tradisi nenek moyang, juga bagian dari ragamnya perbedaan. Muslim yang taat pada Allah Swt, mendahulukan cintanya pada Allah Swt. Apa pun bentuk kehendak atau kebiasaan nenek moyang yang tidak sesuai dengan Islam, memang nyata ada larangan dari Qur’an dan Hadis, sudah selayaknya patut ditinggalkan. Misalnya Allah Swt melarang adanya sekutu atau perantara dalam beribadah. Apakah berbentuk patung, batu, koin logam, kayu, metal, gambar, atau apa pun, saat menyembah Allah Swt, maka seorang hamba harus membuka hubungan langsung dengan Allah Swt. Kebiasaan nenek moyang yang menjadikan perantara, siapa pun tokoh yang menyarankan, adalah pola pemikiran lama seperti para penyembah berhala sebelum kedatangan Nabi Saw. Belum lagi soal aqidah, soal sunnah saja, jika mengikuti tradisi tanpa kaji ulang, akan macem-macem perbedaan baru.
Belajar Memahami Perbedaan
Well, Saat Abdullah ibn Mubarak rah, salah seorang ulama kenamaan (tabi’ut tabiin) pernah ditanya oleh seorang muridnya soal Muawiyah ra dan membandingkannya dengan Umar bin Abdul Aziz rah. Waktu Umar bin Abdul Aziz memimpin, raja itu bergelar Umar ke-dua, negara maju rakyat adil. Namun jika dibandingkan dengan gaya Muawiyah ra memimpin, Islam mengalami kemunduran. Maksud dari murid itu ingin menyanjung Umar bin Abdul Aziz rah, khalifah yang meninggal belum lama dari masa-masa mereka. Namun, Abdullah bin Mubarak, ahli hadis yang hidup se-zaman dengan ulama empat Mazhab lainnya, pertanyaan tadi dijawab dengan murka. Bagi Abdullah bin Mubarak rah, sosok Muawiyah ra adalah sahabat Nabi Saw yang juga seorang perawi hadis. Hidup se-zaman dengan Nabi Saw, ikut berjuang dengan Nabi Saw, merasakan pahit-getirnya dakwah Islam pada permulaan Islam. Nah, sedangkan jika dibandingkan dengan Umar bin Abdul Aziz rah hanya sosok pengikut dari tabiin. Sama sekali tidak sejajar. Bahkan, dengan kerasnya, beliau katakan debu-debu yang menempel di hidung keledai Muawiyah ra saat menemani perjuangan Nabi Saw, tidak sebanding dengan kebesaran Umar bin Abdul Aziz rah. Apalagi, maaf, seandainya dibandingkan ulama-ulama yang hidup pada zaman ini (kekinian).
Kadang cendekiawan Muslim muda, terlalu bersemangat mengoreksi ulama-ulama terdahulu sehingga kritik yang dibangun cenderung ke arah egoisme. Kurang paham sejarah perjuangan Islam, dan mencari celah di antara huru-hara peradaban. Salah satunya, ada ulama yang juga dosen dari Los Angeles, mengkritik soal Abu Hurairah ra. Katanya banyak kejanggalan soal banyak riwayat hadis dan masa hidup dari Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi ra (akrabnya Abu Hurairah ra). Jika ditinjau dari sejarah, memang Abu Hurairah ra ini bukan termasuk ulama. Ia termasuk ahli suffah. Bahasa kasarnya, ia hanya “gelandangan” yang tidak punya pekerjaan tetap. Namun, ia karena “gelandangan” jadi lebih punya banyak waktu menemani Nabi Saw. Seperti Zaid bin Haritsah ra, anak angkat Nabi Saw yang banyak menyertai perjuangan Nabi Saw. Jadi wajar, banyak hadis yang bersanad dari Abu Hurairah ra, yang juga termasuk orang awwalun. Masuk Islam pada permulaan Islam. Jadi jelas, Jika dibandingkan dengan kritik sang profesor Los Angeles dengan Abu Hurairah ra kurang menunjukkan rasa hormat. Bahkan, ahli hadis kenamaan Bukhari rah, banyak mencantumkan hadis yang bersanad dari Abu Hurairah ra. Lagi-lagi, apakah Sang profesor masih merasa lebih hebat dari Imam Bukhari rah?
Harus diakui, para sahabat Nabi adalah manusia biasa. Kadang ada salah paham di antara mereka sendiri yang kemudian Nabi Saw menjadi penengah di antara kedua. Salah satunya contohnya adalah ketika dalam musyawarah setelah perang Badar. Umar bin Khattab ra menyarankan untuk dibunuh saja. Sedangkan Abu Bakar ra menyarankan untuk dibebaskan saja. Barangkali mereka akan bertaubat, jelaskan Abu Bakar ra. Abdullah bin Mas’ud ra mengatakan, kalau Nabi Saw menengahi mereka secara bijak dengan mengatakan Sikap Abu bakar ra seperti Nabi Ibrahim as, dan sikap Umar ra seperti Nabi Nuh as. Akhirnya Nabi Saw memutuskan agar para tawanan tidak dibunuh. Tidak ada yang disalahkan dalam musyawarah.
Contoh lain, adalah soal Abu Hurairah ra yang diberikan sebuah sendal (alas kaki) dari Rasulullah Saw agar segera ke pasar (tempat umum), guna memberitahukan kalau yang mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah (masuk Islam), akan dimasukkan ke dalam surga. Hadis ini memang benar. Ada banyak hadis yang isinya mirip. Namun, manakala Abu Hurairah ra sampaikan ke muka umum, tiba-tiba datanglah Umar bin Khattab ra dan memukulnya hingga terjatuh. Umar ra tahu, dengan sendal Rasulullah Saw yang ada di tangan Abu Hurairah ra, cukup menegaskan kalau ucapan Abu Hurairah ra memang benar dari Rasul Saw. Akan tetapi Umar ra ingin agar setiap muslim harus berusaha dahulu dengan amal agar jangan sampai orang hanya berhayal-hayal soal surga tanpa beramal. Akhirnya kedua orang sahabat itu menemui Nabi Saw, dan Nabi Saw setuju dengan pendapat Umar bin Khattab ra tanpa perlu menghakimi Abu Hurairah ra.
Menyikapi Perbedaan
Terlepas dari itu semua, intinya Rasulullah Saw sudah menyatakan kalau para sahabat Nabi Saw, seperti bintang-bintang yang bertaburan di angkasa. Manapun yang diikuti, arahnya bermuara pada Nabi Saw juga. Dengan perbedaan ini, menjadikan rahmat. Tidak perlu merasa paling benar dengan mengatakan ulama kekinian lebih hebat dari generasi pada awal permulaan Islam. Para sahabat juga banyak yang sudah memperoleh ampunan dari Allah Swt (QS. Al-Anfal : 74, At-Taubah : 100). Mereka nyata orang yang sudah sukses, dan mendapat legitimasi langsung dari Allah Swt. Jikalau ada yang belum diampuni, hanya Allah Swt yang Maha Mengetahui.
Andaikan kita sepakat dengan Rasulullah Saw soal beda pendapat, insya Allah opini di kepala kita akan tetap mengatakan kalau perbedaan itu rahmat bukan azab. Perbedaan juga sunatullah. Jangan pernah memaksa agar orang lain mengikuti mazhab tertentu, yang barangkali orang lain juga sudah mengikuti sahabat Nabi Saw juga.
Hati ini ada keraguan soal nikah, soal praktek ibadah yang biasa dilakukan, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah munajat pada Allah Swt. Agar diberikan jalan yang terang, dan kekuatan untuk menempuh jalan itu. Berikutnya, tanyakan pada ulama. Jangan merasa benar sendiri, apalagi ikut dalam mengkritik amal-amal para sahabat Nabi Saw. Seandainya ada dari saudara-saudara kita yang secara nyata “menyimpang” kiranya, sebagai bentuk cinta pada saudara, kita doakan saja semoga mendapatkan hidayah dan mampu mengikutinya.
Subhanallah wa bihamdihi, Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadu Allaailaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik
0 komentar: