Menurut ulama jumhur, syarat diterimanya sebuah amal ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, ikhlas. Hanya semata-mata karena Allah Swt. Kedua, mengikuti tuntunan dari Nabi Saw dan para sahabat. Terakhir, sesuai dengan syara’. Artinya syarat dan rukun ditunaikan secara baik dan benar.
Untuk yang pertama dan kedua, sudah sangat jelas, karena sering disampaikan oleh para mubaligh. Sementara yang terakhir, yang ketiga, bahwa sebuah amaliah, tidak bisa disandarkan dengan kemauan diri sendiri. Amaliah harus memenuhi kaidah sunnah—lebih spesifiknya syarat dan rukun harus dipenuhi. Misalnya dalam sujud, hanya membaca tasbih, tidak boleh membaca ayat Qur’an dalam sujud. Meskipun membaca Qur’an dipandang sebuah kebaikan, namun menurut syara’ dipandang salah, maka menjadi keliru. Ayat Qur’an hanya boleh dibaca saat berdiri saja.
Nah, dari itu dalam konsep ibadah, ada istilah “kerja keras”, “kerja cerdas”, dan “kerja rodi” (kerja sia-sia). Kerja keras, misalnya seseorang yang melakukan ibadah hanya yang fardu-fardu saja. Sedangkan sunnah-sunnah yang ringan, yang mengikuti ibadah yang dikerjakan, justru diremehkan. Istilah kerja keras ini, juga seperti orang yang hanya mengandalkan ibadah saja untuk sekedar ‘menggugurkan kewajiban.’ Misalnya orang yang shalat fardu lebih memilih sendirian. Padahal, jika ia sedikit bersabar, menunggu orang lain agar bisa berjamaah—atau datang ke masjid untuk berjamah, pahalanya bisa berlipat hingga 25 atau 27 derajat. Bahkan pahalanya dapat mencapai 70 derajat, jika adab dan sunnah benar-benar diperhatikan.
“Kerja Cerdas”
Orang yang shalat berjamaah, dikatakan sebagai “kerja cerdas” dalam ibadah. Beramal, dengan derajat yang lebih tinggi karena kesabaran dan ilmunya. Contoh lain, adalah istighfar. Membaca sayyidul istighfar, bahkan bisa lebih tinggi derajatnya, daripada sekedar istighfar yang biasa-biasa saja meskipun dari segi jumlahnya terhitung sangat banyak. Kerja cerdas ini, juga telah banyak dilakukan para ulama. Mereka berfikir, kalau hanya mengandalkan amaliah infirodi (amal yang dilakukan serdiri), maka hanya sebatas kemampuan dan kesanggupan saja. Ketika pelakunya meninggal, maka ganjarannya pun terhenti sampai di situ saja. Para ulama, sengaja memperbanyak keturunan dan rajin menyebarkan ilmu agama yang ia ketahui. Sebab “kecerdasan mereka” dalam beramal, sesuai dengan pemahaman, bahwa ketika anak Adam meninggal dunia, terputus semua amalnya, kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah (sedekah yang mengalir) misalnya wakaf, anak sholeh yang mendo’akan orang tua, serta ilmu yang berguna (ilmu yang terus diamalkan orang lain). Para alim ulama, memasukkan seorang da’i (pendakwah agama) juga termasuk ke dalam golongan yang terakhir tadi, ilmu yang berguna. Sebab, catatan amal para da’i masih terus terbuka meski jasadnya sudah hancur, sementara orang yang mau diajak masih hidup dan terus mengamalkan ajakan kebaikannya.
Dengan “kerja cerdas” ini, maka seorang anak Adam ketika dihisab amalnya akan kebingungan. Bingung, karena ada beberapa amal yang tidak diterima—mungkin karena kurang ikhlas atau sebab lain, tapi ada amal-amal yang ia sendiri belum pernah lakukan, namun malah mendapat balasan pahala yang berlipat-lipat. Misalnya orang tadi belum pernah pergi haji, akan tetapi pahala hajinya bisa beratus juta kali haji mabrur kala dihisab. Ini karena orang tadi semasa hidupnya sering menyebarkan ilmunya tentang haji, lalu diamalkan oleh murid-muridnya hingga ratusan juta orang.
Kerja cerdas dalam beramal ini juga bisa dikelompokkan pada para dermawan yang memberikan donasi pendidikan untuk para pelajar. Memberikan bantuan untuk ibadah haji atau umrah, meski ia barangkali belum pernah ke Makkah. Orang-orang ini termasuk dikelompokkan sebagai shadaqah jariyah. Bukan hanya sebatas itu, Konsep kerja cerdas ini juga dapat disamakan kepada para da’i yang rajin menulis kitab, ceramah, nasehat dalam bentuk tertulis. Ketika pembaca masih dapat merasakan manfaat dari tulisan-tulisannya, pahalanya terus mengalir. Baik ia masih hidup, atau sudah meninggal. Mereka menebar amal dengan konsep “kerja cerdas” ala “passive income.”
Allah Swt berfirman dalam Surat al-Ankabut ayat 7; “Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, benar-benar akan Kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka dan benar-benar akan Kami beri mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.”
“Kerja Rodi”
Istilah ‘kerja rodi’ adalah istilah orang yang melakukan amal, namun hanya sia-sia. Amal yang dikerjakan dengan susah payah, malah musnah tanpa bekas. Bahkan justru mendapatkan laknat. Hal ini, karena melanggar tiga syarat diterima amalan yang pada awal tadi telah disebut; ikhlas, ada contoh dari Nabi dan para sahabat, serta memenuhi syara’.
Sementara amaliah dapat menjadi “kerja rodi” karena tidak sesuai dengan syara’ pada bagian awal sudah dicontohkan soal bacaan Qur’an yang tidak boleh dilakukan saat sujud. Contoh lain misalnya, waktu sholat Magrib katakanlah saat itu jatuh pada pukul 6 sore di Indonesia. Maka jika waktu sholat di Negara lain atau di daerah lain, belum tentu jam 6 sore. Bisa jadi di Negara tetangga, justru lebih maju atau malah lebih mundur. Karena menurut syara’ waktu sholat sudah ditentukan menurut peredaran bulan—sesuai dengan ilmu falak. Bukan hanya sebatas kebiasaan yang sifatnya tetap. Syarat sah sholat fardhu, salah satunya harus sudah masuk waktu sholat, kecuali jamak takdim.
Orang yang bersedekah, lalu mengungkit-ungkit pemberian, juga dikatakan sebagai “kerja rodi,” misalnya seperti dalam Surat al-Baqarah ayat 263, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” Inilah salah satu contoh amaliah menjadi “kerja rodi’ karena kurang ikhlas.
Amal ibadah orang murtad (keluar dari agama Islam), juga dikatakan sebagai “kerja rodi.” Sebab, bagaimana pun hebatnya kebaikan yang mereka lakukan semasa di dunia, karena menukar akidah, amalnya akan sia-sia. Hak-hak dalam seperti mendapatkan warisan juga batal. Seperti dalam firman allah Swt dalam Surat al-Baqarah ayat 217: “Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. “
Mudah-mudahan Allah Swt selalu memberikan kekuatan berupa hidayah sehingga amal-amal yang kita lakukan dapat diterima. Aaamiiieenn.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Subhanallah wa bihamdihi, Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadu Allaailaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaih
Untuk yang pertama dan kedua, sudah sangat jelas, karena sering disampaikan oleh para mubaligh. Sementara yang terakhir, yang ketiga, bahwa sebuah amaliah, tidak bisa disandarkan dengan kemauan diri sendiri. Amaliah harus memenuhi kaidah sunnah—lebih spesifiknya syarat dan rukun harus dipenuhi. Misalnya dalam sujud, hanya membaca tasbih, tidak boleh membaca ayat Qur’an dalam sujud. Meskipun membaca Qur’an dipandang sebuah kebaikan, namun menurut syara’ dipandang salah, maka menjadi keliru. Ayat Qur’an hanya boleh dibaca saat berdiri saja.
Nah, dari itu dalam konsep ibadah, ada istilah “kerja keras”, “kerja cerdas”, dan “kerja rodi” (kerja sia-sia). Kerja keras, misalnya seseorang yang melakukan ibadah hanya yang fardu-fardu saja. Sedangkan sunnah-sunnah yang ringan, yang mengikuti ibadah yang dikerjakan, justru diremehkan. Istilah kerja keras ini, juga seperti orang yang hanya mengandalkan ibadah saja untuk sekedar ‘menggugurkan kewajiban.’ Misalnya orang yang shalat fardu lebih memilih sendirian. Padahal, jika ia sedikit bersabar, menunggu orang lain agar bisa berjamaah—atau datang ke masjid untuk berjamah, pahalanya bisa berlipat hingga 25 atau 27 derajat. Bahkan pahalanya dapat mencapai 70 derajat, jika adab dan sunnah benar-benar diperhatikan.
“Kerja Cerdas”
Orang yang shalat berjamaah, dikatakan sebagai “kerja cerdas” dalam ibadah. Beramal, dengan derajat yang lebih tinggi karena kesabaran dan ilmunya. Contoh lain, adalah istighfar. Membaca sayyidul istighfar, bahkan bisa lebih tinggi derajatnya, daripada sekedar istighfar yang biasa-biasa saja meskipun dari segi jumlahnya terhitung sangat banyak. Kerja cerdas ini, juga telah banyak dilakukan para ulama. Mereka berfikir, kalau hanya mengandalkan amaliah infirodi (amal yang dilakukan serdiri), maka hanya sebatas kemampuan dan kesanggupan saja. Ketika pelakunya meninggal, maka ganjarannya pun terhenti sampai di situ saja. Para ulama, sengaja memperbanyak keturunan dan rajin menyebarkan ilmu agama yang ia ketahui. Sebab “kecerdasan mereka” dalam beramal, sesuai dengan pemahaman, bahwa ketika anak Adam meninggal dunia, terputus semua amalnya, kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah (sedekah yang mengalir) misalnya wakaf, anak sholeh yang mendo’akan orang tua, serta ilmu yang berguna (ilmu yang terus diamalkan orang lain). Para alim ulama, memasukkan seorang da’i (pendakwah agama) juga termasuk ke dalam golongan yang terakhir tadi, ilmu yang berguna. Sebab, catatan amal para da’i masih terus terbuka meski jasadnya sudah hancur, sementara orang yang mau diajak masih hidup dan terus mengamalkan ajakan kebaikannya.
Dengan “kerja cerdas” ini, maka seorang anak Adam ketika dihisab amalnya akan kebingungan. Bingung, karena ada beberapa amal yang tidak diterima—mungkin karena kurang ikhlas atau sebab lain, tapi ada amal-amal yang ia sendiri belum pernah lakukan, namun malah mendapat balasan pahala yang berlipat-lipat. Misalnya orang tadi belum pernah pergi haji, akan tetapi pahala hajinya bisa beratus juta kali haji mabrur kala dihisab. Ini karena orang tadi semasa hidupnya sering menyebarkan ilmunya tentang haji, lalu diamalkan oleh murid-muridnya hingga ratusan juta orang.
Kerja cerdas dalam beramal ini juga bisa dikelompokkan pada para dermawan yang memberikan donasi pendidikan untuk para pelajar. Memberikan bantuan untuk ibadah haji atau umrah, meski ia barangkali belum pernah ke Makkah. Orang-orang ini termasuk dikelompokkan sebagai shadaqah jariyah. Bukan hanya sebatas itu, Konsep kerja cerdas ini juga dapat disamakan kepada para da’i yang rajin menulis kitab, ceramah, nasehat dalam bentuk tertulis. Ketika pembaca masih dapat merasakan manfaat dari tulisan-tulisannya, pahalanya terus mengalir. Baik ia masih hidup, atau sudah meninggal. Mereka menebar amal dengan konsep “kerja cerdas” ala “passive income.”
Allah Swt berfirman dalam Surat al-Ankabut ayat 7; “Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, benar-benar akan Kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka dan benar-benar akan Kami beri mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.”
“Kerja Rodi”
Istilah ‘kerja rodi’ adalah istilah orang yang melakukan amal, namun hanya sia-sia. Amal yang dikerjakan dengan susah payah, malah musnah tanpa bekas. Bahkan justru mendapatkan laknat. Hal ini, karena melanggar tiga syarat diterima amalan yang pada awal tadi telah disebut; ikhlas, ada contoh dari Nabi dan para sahabat, serta memenuhi syara’.
Sementara amaliah dapat menjadi “kerja rodi” karena tidak sesuai dengan syara’ pada bagian awal sudah dicontohkan soal bacaan Qur’an yang tidak boleh dilakukan saat sujud. Contoh lain misalnya, waktu sholat Magrib katakanlah saat itu jatuh pada pukul 6 sore di Indonesia. Maka jika waktu sholat di Negara lain atau di daerah lain, belum tentu jam 6 sore. Bisa jadi di Negara tetangga, justru lebih maju atau malah lebih mundur. Karena menurut syara’ waktu sholat sudah ditentukan menurut peredaran bulan—sesuai dengan ilmu falak. Bukan hanya sebatas kebiasaan yang sifatnya tetap. Syarat sah sholat fardhu, salah satunya harus sudah masuk waktu sholat, kecuali jamak takdim.
Orang yang bersedekah, lalu mengungkit-ungkit pemberian, juga dikatakan sebagai “kerja rodi,” misalnya seperti dalam Surat al-Baqarah ayat 263, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” Inilah salah satu contoh amaliah menjadi “kerja rodi’ karena kurang ikhlas.
Amal ibadah orang murtad (keluar dari agama Islam), juga dikatakan sebagai “kerja rodi.” Sebab, bagaimana pun hebatnya kebaikan yang mereka lakukan semasa di dunia, karena menukar akidah, amalnya akan sia-sia. Hak-hak dalam seperti mendapatkan warisan juga batal. Seperti dalam firman allah Swt dalam Surat al-Baqarah ayat 217: “Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. “
Mudah-mudahan Allah Swt selalu memberikan kekuatan berupa hidayah sehingga amal-amal yang kita lakukan dapat diterima. Aaamiiieenn.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Subhanallah wa bihamdihi, Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadu Allaailaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaih
0 komentar: